Minggu, 26 Oktober 2014

ANAK GEDE AGUNG RAI Menjaga Tradisi lewat Museum

Lewat pendekatan kultural, ia menghadirkan pusat kegiatan seni budaya dan museum yang holistis sebagai upaya menjaga seni tradisi Bali agar tak lekang oleh modernisasi. PENGUNJUNG melang kah silih berganti ma suk ke kawasan Agung Rai Museum of Art (ARMA) di Ubud, Gianyar, Bali, siang itu. Di kawasan museum seni budaya tersebut, sekitar 1.000 orang berkumpul mengikuti acara puncak penutupan Ubud Writers and Readers Festival 2014, Minggu (5/10).

ARMA menjadi salah satu tempat digelarnya pesta sastra tahunan tersebut. Di balik pergelaran gempita itu, ada sosok yang menjadi perhatian.Ada lelaki berkumis tipis dengan pakaian khas daerah Bali, tampak bersahaja, tutur katanya sopan, dan bersahabat.

Dialah Anak Gede Agung Rai atau yang lebih dikenal warga setempat Agung Rai. Ia merupakan seniman sekaligus budayawan. Ia juga konsen menggeluti seni rupa, khususnya seni tradisi Bali, sehingga mendirikan ARMA atas idealismenya menjaga seni budaya tradisi di Ubud.

“Awalnya, saya pedagang acung (asongan) di Kuta dan mengantar turis ke tempat seniman pada 70-an. Saya menjembatani seniman lokal agar bisa dikenal luas ke penikmat seni (asing),“ ujar Agung Rai di ARMA, Minggu (5/10).

Tumbuh dan besar dalam lingkungan keluarga yang sangat kuat menjunjung nilainilai dan adat istiadat Bali telah memberikan bekal mumpuni bagi Agung Rai. Anak kedua dari lima bersaudara itu menjadi salah satu tokoh di Ubud yang cukup disegani atas dedikasinya dalam mengoleksi karya-karya seni adiluhung dan modern serta memberikan edukasi gratis bagi warga sekitar.
Sehari-hari, Agung Rai beraktivitas di ARMA. Namun, menjelang malam, ia akan kembali ke Puri Kelodan Peliatan Ubud, rumah tempat ia tinggal bersama keluarga, termasuk ayahnya, Anak Agung Gede Punia, yang kini berusia 94 tahun.

Keberadaan kubu seni rupa dunia, antara modern(-isme) dan tradisi, membuat Agung Rai sempat waswas. Ia takut bila nama-nama seniman Bali, khususnya yang ada di Ubud, tidak melejit jika dibandingkan dengan seniman asing yang memutuskan tinggal dan beranak-pinak di Ubud.

Kecemasan itu pun akhirnya terjawab lewat kerja kerasnya mendirikan ARMA pada 9 Juni 1996. Lewat museum itulah, setiap orang bisa melihat secara dekat periodisasi seni lukis Ubud yang menjadi perhatian dunia.

Sebelum mendirikan museum, Agung Rai hanya memiliki galeri kecil (Agung Rai Fine Art Gallery) di kawasan Peliatan yang didirikan pada 1978.“Saya menemukan banyak lukisan Bali yang disimpan di museum etnografi di Eropa.Karya seperti seniman Lempad (I Gusti Nyoman Lempad) dikoleksi di Paris. Dari situlah, saya mulai berpikir untuk bisa membangun museum,“ tuturnya.

Perjuangan untuk mendirikan museum memang tidaklah mudah. Ia harus keluar masuk rumah-rumah rekanan seniman untuk bisa mengutarakan niatnya. Ada seniman yang memberikan lukisan secara gratis untuk dikoleksi dan ada pula yang mengharuskan Agung Rai keluarkan kocek sendiri.Tradisi yang hidup Perjuangan idealis mendirikan ARMA terwujud. Namun, Agung Rai mengaku persoalan paling sulit yaitu menjalankan manajemen museum agar tetap hidup dan dikunjungi pengunjung.

Minimnya dana untuk menopang perawatan dan pelestarian karya seni di museum membuat Agung Rai pun sempat mau menyerah.Tidak ada dana untuk melakukan perawatan membuatnya memutar otak. Hingga, pada suatu titik, ia memutuskan mendirikan resor (hotel) di belakang museumnya untuk menunjang pendanaan.

“Tanpa resor ini, museum tak akan jalan. Jadi, saya melakukan subsidi. Hasil (dana) dari okupasi resor dialokasikan sebagian untuk menunjang perawatan museum. Karya lukis butuh perawatan ekstra karena bila tidak, bisa saja dimakan rayap atau lembap,“ aku lelaki kelahiran 14 Juli 1955 itu.

Tidak hanya itu, ia pun mendirikan sanggar di kawasan sekitar 6 hektare (ha) tersebut.Di sanggar itu, anak-anak di kawasan sekitar bisa belajar tari, musik, dan lukis secara gratis. Dengan begitu, mereka bisa mengembangkan bakat seni masing-masing.
“Sekarang masih 40 anakanak. Selesai sekolah, mereka biasanya datang ke sini. Kami punya guru-guru yang juga tak dibayar,“ akunya.

Kehadiran kawasan seni di ARMA menjadi unik. Apalagi, Agung Rai begitu fokus pada seni tradisi setempat.Karya lukis seniman lokal yang ada di sana, antara lain, I Gusti Nyoman Lempad (18621978), Made Sukada, I Ketut Djodol, I Made Sinteg, dan Made Wianta. Tak hanya itu, karya-karya pelukis asing yang sempat menetap di Ubud juga ia koleksi. Sebut saja, Walter Spies (pelukis Jerman kelahiran Rusia, 1895-1942) dan Willem Dooijewaard (pelukis Belanda, 1892-1980).
Kehadiran ARMA di jantung Ubud pun menjadi dorongan bagi Agung Rai. Apalagi, banyak pemodal dari luar Bali yang masuk dan mendirikan resor, hotel, hingga restoran berkelas dunia.

“Kehadiran ARMA untuk menjaga suasana (holistis) Ubud karena banyak kapitalis yang masuk untuk mencari keuntungan semata. Di sinilah, budaya Bali kami jaga demi anak cucu,“ tegas lelaki yang hanya menamatkan pendidikan SMP itu.
Meski berhasil membangun sebuah museum dengan mengusung pendekatan kultural lokal, Agung Rai memiliki keinginan yang belum kesampaian. “Saya sudah mencapai banyak hal. Namun, masih ada pekerjaan rumah yang sedang saya kerjakan, yaitu mengedukasi masyarakat tentang Bali,“ ungkapnya.

Sosok Agung Rai yang tumbuh dan besar di Ubud membuat ia tetap teguh menjaga nilai-nilai tradisi. Itu terlihat dari cara berpakaian ala Bali yang khas. Baginya, jati diri menjadi cermin bagi siapa pun untuk mendedikasikan diri di ranah kebudayaan.
“Pada 1963, Gunung Agung meletus, lalu pada 1965 terjadi pergolakan PKI. Jadi susah makan. Dari situlah, kita ingin mengubah hidup untuk lebih baik,“ jelasanya. (M-5) Media Indonesia, 24/10/2014, Halaman : 24
Read more ...
Minggu, 19 Oktober 2014

Intercontinental Bali Raih Penghargaan Internasional

Dinilai cerdas dalam mengoordinasikan pertemuan, insentif, konferensi, acara pernikahan, makan malam pribadi, dan resepsi lainnya, Intercontinental Bali Resort meraih penghargaan prestisius dari World Travel Awards Asia & Australia dalam kategori MICE hotel terkemuka di Bali. Penghargaan diberikan dalam acara gala ceremony di New Delhi, India. Hadir dalam penerimaan award tersebut General Manager Intercontinental Bali Resort Michel Chertouh.

“Saya senang dan merasa sangat terhormat menerima penghargaan besar ini dan saya merasa sangat bangga. Ini merupakan hasil kerja keras tim yang hebat dan saya ingin berterima kasih kepada mereka semua,“ kata Chertouh, seperti dikutip dalam siaran pers yang diterima Media Indonesia, kemarin. World Travel Awards ialah penghargaan tertinggi di bidang industri pelesiran dan pariwisata abad ini yang berdiri pada 1993. Nominasi didasarkan pada pemungutan suara tahun sebelumnya, bersama-sama dengan rekomendasi yang dibuat agen wisata, pariwisata, dan industri perhotelan profesional.

Hotel yang terletak di Jalan Uluwatu 45, Jimbaran, Bali, itu memiliki fasilitas pertemuan modern, dari Puri Kencana Ballroom hingga delapan kamar multifungsi. Di antara fasilitas bergengsi itu termasuk tiga ruang rapat dan dua board room yang letaknya berdekatan dengan pintu masuk khusus dan area parkir.

Menurut Chertouh, penghargaan yang diraih Intercontinental Bali sangat berarti bagi industri wisata dan pelesiran. “Dengan berusaha mendapatkan penghargaan, kami memotivasi semua tim sehingga me mungkinkan kami bergerak maju dan bekerja untuk sesuatu. Tahun depan kami menargetkan untuk meraih penghargaan lagi,“ tambahnya.

Pihak Intercontinental Bali Resort mengungkapkan mereka memiliki tim khusus yang sangat terlatih dan staf profesional untuk memenuhi setiap aspek fungsi dan syarat-syarat yang dibutuhkan dalam sebuah acara pertemuan. Sumber daya yang andal itu didukung tekonologi audio visual yang canggih serta bercita rasa tinggi.

Di Intercontinental Bali Resort, pertemuan dan acara dirancang untuk menangkap rasa asli yang akan menginspirasi para delegasi dan mencapai hasil yang diinginkan. Di sisi lain, untuk acara pernikahan, kostum unik dan berbagai pilihan latar belakang pemandangan pantai di Bali yang terbaik ditawarkan.(Hym/X-8) Sumber : Media Indonesia, 19/10/2014, Halaman : 2
Read more ...
Minggu, 12 Oktober 2014

Nuansa Baru dari Tanjung Benoa

GRAND MIRAGE RESORT & THALASSO BALI
BEROPERASI sejak 1993, Grand Mirage Resort & Thalasso Bali menjadi salah satu pilihan menarik saat Anda menginap di Bali. Resor ini berada di tepi Pantai Tanjung Benoa dengan area seluas 5 hektare dan memiliki panjang pantai hingga 189 meter.

Grand Mirage menawarkan 301 kamar dan suite yang setengahnya menghadap ke pantai. Ada juga tiga restoran yang menawarkan berbagai makanan, water sport, dan sejumlah fasilitas lain untuk melengkapi kesenangan dan kenyamanan tamu. Dari 301 kamar itu, manajemen membaginya dalam lima kategori, yakni Deluxe Garden Room dengan pemandangan ke kebun, Deluxe Ocean View Room yang mengarah ke laut, Deluxe Romantic Room untuk pasangan, Ocean View Suite yang dilengkapi dengan ruang santai terpisah dan mengarah ke laut, serta Family Ocean View Suite dengan dua kamar yang mengarah ke laut.

Beranjak dari kamar, tamu bisa menikmati sajian makanan olahan dari Matthew Wood, Executive Chef Grand Mirage. Tangan dingin sang pakar kuliner ini menyajikan makanan dari berbagai penjuru dunia di tiga restoran, yakni restoran Italia La Cascata, restoran di tepi laut Jukung, dan restoran yang buka 24 jam, Grand Café.

Masih soal kuliner, hotel ini juga menyediakan makan malam prasmanan di Rama Stage setiap Senin, Selasa, Kamis, dan Sabtu. Para pengunjung akan dihibur oleh beberapa pertunjukan selama makan malam di Rama Stage.

Fasilitas umum yang tersedia di hotel ini cukup beragam, mulai watersport, gym, games lounge, spa, kids club, lapangan tenis, kolam dewasa, dan kolam anak.Aktivitas tamu Tidak hanya fasilitas yang memadai, Grand Mirage juga menyediakan banyak aktivitas, seperti kelas memasak, memahat buah, keliling Tanjung Benoa dengan menggunakan sepeda, tata rias, dan busana adat Bali.

Untuk anak-anak, hotel ini juga menyiapkan beragam aktivitas seperti membuat topeng dan mengumpulkan kerang. Untuk pasangan yang ingin merayakan pernikahan, Grand Mirage Resort & Thalasso Bali menyediakan tempat pernika han baik di luar ruangan maupun di dalam ruangan.Pasangan yang memilih untuk menikah di luar ruangan dapat memilih kapel atau pantai.Adapun untuk pasangan yang lebih menyukai indoor venue, Mirage Ballroom di hotel ini mampu menampung 200 undangan.

Mirage Ballroom juga dapat disewa untuk rapat atau pertemuan. Selain itu, terdapat beberapa ruangan rapat yang lebih kecil yang diberi nama seperti tarian-tarian tradisional di Bali, seperti Ruang Legong, Kecak, Baris, dan Janger.Untuk rapat skala kecil, Legong dapat menjadi pilihan.
Read more ...